Opini : Tommy Permana
Komisi Pemilihan Umum (KPU) akan menggelar Pilkada Serentak 2024 di Indonesia. Pesta demokrasi lima tahunan itu untuk memilih kepala daerah di tingkat provinsi hingga kabupaten/kota.
Pelaksanaan pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati serta walikota dan wakil walikota yang sering kita sebut sebagai pemilihan kepala daerah (Pilkada) diatur berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Perubahan Undang-Undang atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-undang.
Kemudian UU tentang Pilkada mengalami perubahan kedua menjadi UU nomor 10 Tahun 2016, yang mengubah beberapa pasal, antara lain pasal (7) yang berisi syarat calon kepala daerah, dan pasal (16) mengenai komposisi jumlah anggota PPK yang semula tiga orang menjadi lima orang, dan beberapa pasal krusial lainnya.
Lalu pada tahun 2020 UU Pilkada mengalami perubahan ketiga menjadi UU Nomor 6 Tahun 2020. Namun tidak banyak pasal yang diubah, melainkan hanya beberapa pasal yang mengatur pelaksanaan Pilkada akibat wabah Covid 19.
Berdasarkan ketentuan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 2 Tahun 2024 tentang Tahapan dan Jadwal, bahwa jadwal pendaftaran calon kepala daerah akan berlangsung mulai tanggal 27 sampai 29 Agustus 2024.
Sebelum pemilihan digelar, tentunya banyak bakal pasangan calon (paslon) yang mendaftarkan diri untuk ikut dalam bursa lima tahunan tersebut.
Masing-masing paslon akan mencari “tiket atau kereta” untuk maju pilkada dengan rekomendasi dari partai politik koalisi.
Partai politik atau gabungan partai politik dapat mendaftarkan pasangan calon dengan ketentuan memenuhi syarat minimal 20 persen jumlah kursi DPRD. Hal ini sesuai ketentuan pasal 40 (ayat) 1 UU Nomor 8 Tahun 2015.
Berdasarkan ketentuan pasal 134 ayat (1) PKPU Nomor 8 Tahun 2024, bahwa jika dalam hal hasil penelitian perbaikan persyaratan administrasi calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal (118) menghasilkan Pasangan Calon yang memenuhi persyaratan kurang dari 2 (dua) Pasangan Calon, maka KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota membuka kembali pendaftaran Pasangan Calon. Di ayat berikutnya yakni ayat (2), masa pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuka paling lama 3 (tiga) hari.
Namun jika selama masa perpanjangan masa pendaftaran tidak ada yang memenuhi syarat, maka pilkada hanya diikuti satu pasangan calon alias calon tunggal.
Namun apa jadinya jika partai politik yang memperoleh kursi parlemen di DPRD “dikuasai” oleh satu pasangan calon saja? Hal ini memunculkan apa yang disebut calon tunggal dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah.
Berkaca dari pengalaman sebelumnya, desain surat suara yang hanya diikuti satu pasangan calon, surat suara hanya memuat dua kotak gambar, yaitu yang berisi gambar dan nomor urut pasangan calon dan satu lagi gambar kotak yang dibiarkan kosong. Inilah yang sering kita sebut kosong. Desain surat suara ini dituangkan dalam PKPU.
Menguntungkan Paslon
Keberadaan kotak kosong ini seringkali dianggap menguntungkan bagi paslon tunggal. Karena memang tidak ada lawan sebagai pembanding adu visi, misi dan program.
Namun di sisi lain, hal ini justru menggambarkan kemunduran demokrasi di Indonesia. Sebab, kotak kosong bukan peserta pilkada. Kotak kosong ini hanya dipersiapkan untuk tetap menjaga adanya kontestasi sebagai syarat demokrasi.
Apakah fenomena kotak kosong akan terjadi di Pilwako Pangkalpinang 2024?
Pilwako Pangkalpinang saat ini baru ada satu kontestan yaitu pasangan Maulan Aklil (Molen) dan Masagus Hakim (Hakim). Pasangan Molen dan Hakim mendapat rekomendasi dari PDIP, PPP, PKB, PAN, PKS, Partai Nasdem, Partai Demokrat, dan Partai Gerindra. Tinggal tersisa Partai Golkar.
Aksi ‘borong habis’ dan membentuk koalisi gemuk tersebut, pasangan Molen-Hakim dipastikan melawan kotak kosong pada Pilkada Pangkalpinang 2024.
Bagaimana jika banyak warga Pangkalpinang memilih kotak kosong? Jika kotak kosong menang, maka pilkada akan diulang pada tahun berikutnya sesuai aturan.
Di satu sisi, kotak kosong merupakan salah satu strategi menuju ‘jalan tol’ kemenangan. Saat ini skenario elit politik mulai dimainkan untuk memenangkan paslon yang diusung dalam bursa Pilkada Serentak 2024.
Di sisi lain jika kotak kosong menang, hal itu merupakan bentuk ‘hukuman’ rakyat kepada elit. Sebab, demokrasi adalah suara rakyat.
Namun ada hal yang menarik, jika ada kotak kosong di dalam surat suara, dan pemilih diperbolehkan untuk mencoblosnya, maka apakah ada larangan untuk mengkampanyekan agar memilih kotak kosong sebagai pembelajaran kepada elit politik kita? Alasannya sederhana, sebab salah satu tujuan dibentuknya partai adalah melahirkan kader-kader pemimpin. Bagaimana? (**)