Poltamnews.com | BANGKA BELITUNG
Konektivitas pembentukan regulasi dan kebijakan dengan tujuan pembangunan lingkungan hidup yang bersih menjadi isu penting yang ramai dibahas dalam beberapa tahun terakhir.
Inisiatif pemerintah untuk menerapkan pajak lingkungan sebagai salah satu instrumen dalam memberikan jaminan perlindungan hidup yang lebih baik masih menemui berbagai kendala dan tantangan. Dalam rangka memberikan kontribusi akademik, Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung menyelenggarakan Seminar Nasional bertajuk “Pajak Lingkungan Pada Perusahaan Pertambangan Dalam Pengendalian Kerusakan Lingkungan Hidup” pada Selasa (29/08/2023).
Seminar ini menghadirkan dua narasumber utama, yakni akademisi hukum pajak UGM, Dahliana Hasan, S.H., M.Tax, P.hD, dan Dekan FH UBB, Dr. Derita Prapti Rahayu, S.H., M.H.
Dalam sambutan pembuka mewakili Dekan FH UGM, Dahliana Hasan, S.H., M.Tax, PhD menyampaikan bahwa kolaborasi antar perguruan tinggi merupakan tanggungjawab penting dalam menghasilkan rekomendasi kebijakan terkait perlindungan lingkungan di Indonesia.
“Melalui kerjasama antar perguruan tinggi, kita mampu menghasilkan rekomendasi kebijakan yang tepat dalam menciptakan instrumen pengendalian kerusakan lingkungan hidup di Indonesia. Tentu dalam hal ini, pajak lingkungan menjadi salah satu pilihan yang sedang diformulasikan oleh pemerintah,” ujarnya.
Sementara itu, Wakil Dekan FH UBB, Yokotani, S.H., M.H menyambut baik kerjasama antara FH UBB dan FH UGM untuk menghasilkan kemitraan keilmuan yang berkualitas.
“Sebagai fakultas yang masih muda, jalinan kemitraan antara FH UBB dengan FH UGM sangat penting dan diharapkan dapat menjadi pendorong bagi pengembangan kualitas pendidikan hukum di FH UBB. Karenanya, kami sangat mengapresiasi kesediaan FH UGM untuk berkolaborasi dalam kegiatan ini,” sambutnya.
Materi pertama diberikan oleh Dr. Derita Prapti Rahayu, S.H., M.H yang menjelaskan tentang pentingnya pajak lingkungan terhadap perusahaan pertambangan timah di Bangka Belitung. Menurutnya, perusahaan pemilik perizinan pertambangan timah memiliki tanggungjawab lebih atas terjadinya kerusakan lingkungan, sehingga dapat diterapkan pajak lingkungan terhadapnya.
“Hari ini, sekitar 62% dari total luas wilayah di Bangka Belitung adalah wilayah IUP atau IUPK. Dengan cadangan kita yang masih 800.000 ton, setidaknya pertambangan akan terus terjadi hingga 20 tahun mendatang. Tanpa menerapkan pajak lingkungan, kemampuan kita untuk mengendalikan kerusakan lingkungan juga terbatas. Lebih dari itu, kita juga perlu mengembangkan ekoliterasi, misalnya dengan konsep timah ampak yang sebenarnya berpotensi menjadi salah satu alternatif bagi pengendalian kerusakan lingkungan,”terangnya.
“Untuk itu, penerapan pajak lingkungan perlu diimplementasikan dengan tiga prinsip, yakni pencemar membayar, pencegahan, dan kehati-hatian. Bentuk dana dari pajak lingkungan dapat berupa Dana Pemulihan Lingkungan Hidup, Dana Penanggulangan Pencemaran dan/atau Kerusakan Pemulihan Lingkungan Hidup, dan Dana Amanah atau bantuan konservasi. Dana ini ditarik oleh pemerintah daerah, dalam bentuk pajak, bukan retribusi,” imbuhnya.
Materi kedua disampaikan oleh Dahlia Hasan, S.H., M.Tax., PhD dengan menegaskan pentingnya pajak lingkungan dalam pengendalian kerusakan lingkungan. Menurutnya, konsep pajak lingkungan telah diterapkan dalam sejumlah regulasi di berbagai negara, dan sangat potensial diterapkan di Indonesia.
“Pajak lingkungan sudah tertera dan menjadi pembahasan serius dari European Commision 2001 dan OECD Policy Paper 2013. Pajak ingkungan sendiri terdiri dari banyak jenis, salah satunya pajak karbon.
Manfaat utamanya adalah untuk mendorong perubahan perilaku masyarakat menjadi lebih peduli terhadap lingkungan melalui instrumen pajak,” pungkasnya.
Dalam kesempatan ini, sesi tanya jawab dibuka untuk memberikan ruang diskusi yang lebih inklusif dengan sivitas akademika FH UBB. Kegiatan ini dihadiri oleh 80 peserta luring dan 85 peserta daring. (Jy)