Bongkar Smelter Penadah Timah Ilegal Keranggan-Tembelok

oleh -25 Dilihat
oleh

Penulis: Satyagraha

GONJANG-ganjing tambang timah ilegal di perairan Keranggan-Tembelok, Mentok, Kabupaten Bangka Barat sejak awal beroperasi pada 2023 lalu, hingga kini 2024 terus terjadi.

Jumlah ponton yang beroperasi tak tanggung-tanggung, ada sekitar 300 hingga 600 unit ponton beroperasi membombardir perairan dangkal dengan kedalaman 3-4 meter itu.

Dari penelusuran lapangan, dan info dari penambang dan para pihak, sedikitnya satu ponton bisa menghasilkan 50 kilogram hingga 100-an kilogram pasir timah dalam sehari.

Atau dalam kata lain, dalam sehari timah yang dihasilkan bisa mencapai 15 ton hingga diatas 20-an ton. Sepekan, sekitar 100 ton hingga 200-an ton timah ilegal hasil dari Keranggan-Tembelok.

Saat ini harga di tingkat penambang berkisar Rp160 ribu hingga Rp170 ribu perkilogram. Namun untuk di Keranggan-Tembelok, penambang yang menyambung nyawa itu harus pasrah menerima harga Rp50 ribu hingga Rp60 ribu perkilogram saja.

Penambang dengan terpaksa harus menerima harga itu dari para cukong timah. Itu pun setiap timah yang ditimbang masih harus dipotong dengan “cangkeman” atau genggaman. Maksudnya begini, setiap timah yang ditimbang, maka cukong atau kaki tangannya akan mengambil timah segenggam sebagai potongan.

Jika dirupiahkan, dalam sehari hasil timah ilegal Keranggan-Tembelok mencapai Rp2,5 miliar hingga Rp8,5 miliar. Seminggu sama dengan 7 hari, maka hasilnya bisa mencapai Rp17,8 miliar hingga Rp59,5 miliar. Bagaimana jika sebulan? tinggal kalikan saja.

Selama ini terkesan banyak pihak hanya fokus bagaimana para penambang kelas teri yang harus diatasi. Padahal dari harga Rp170 ribu perkilogram timah, penambang hanya memperoleh Rp50 ribu hingga Rp60 ribu perkilogram. Artinya sehari hanya sekitar Rp750 juta hingga Rp900 juta. Sepekan, hanya Rp5,2 miliar hingga Rp6,3 miliar.

Bandingkan yang dinikmati cukong, para oknum dan pihak yang ikut makan di sana. Mereka yang paling menikmati selisih harga lapangan Rp100 ribu hingga Rp110 ribu perkilogram timah ilegal Keranggan-Tembelok. Sehari yang mereka nikmati Rp1,5 miliar – Rp5,5 miliar. Sepekan Rp10,5 miliar – Rp38,5 miliar masuk kantong cukong, para oknum atas nama ini dan atas nama itu.

Maka tidak heran, kalau tambang timah ilegal Keranggan-Tembelok sulit diatasi. Karena masih menghasilkan, masih sangat menggiurkan. Kalau sudah bicara uang, apalagi tidak perlu susah memperolehnya, cukup diam, maka akan mengalirlah uang itu ke kantong. Drama Keranggan-Tembelok masih berlanjut.

Memutus Mata Rantai

Sebenarnya bisa diatasi tambang timah ilegal Keranggan-Tembelok. Sangat mudah, semudah membalikkan telapak tangan.

Tambang timah ilegal itu tidak akan beroperasi kalau tidak ada pembeli hasilnya yang berupa pasir timah. Untuk apa menambang kalau tidak laku, tidak ada yang mau beli.

Kalau penadahnya menolak membeli, otomatis tidak laku timah ilegal itu. Kalau tidak laku, buat apa nambang, pasti akan berhenti atau setop dengan sendirinya.

Buktinya, ketika terjadi kebijakan moratorium ekspor timah beberapa tahun lalu. Nyaris seluruh tambang timah setop beroperasi. Sakan-sakan terjungkal dan sebagian teronggok begitu saja, lapuk. Timbangan berkarat dan para penambang terpaksa masuk hutan mencari kayu junjung sahang, untuk dijual atau menyusuri sungai dan laut mencari ikan.

Siapa penampung atau penadah akhir dari timah ilegal Kerangan-Tembelok ini? Kalau bos sayuran, bos buah-buahan atau pemilik toko material rasanya tidak tertarik menimbun pasir timah. Untuk apa? Apalagi kalau sehari 15-50 ton. Selain duitnya tidak sedikit, pertanyaannya untuk apa mereka menampung pasir timah?

Anak kecil pun tahu, pasir timah itu dibutuhkan untuk dilebur, dicetak menjadi timah balok alias tin ingot. Kemudian, timah balok ini dijual ke luar negeri atau diekspor lewat perdagangan di bursa, dan pengiriman timah batangan tentu saja lewat pelabuhan, melalui proses bea cukai dan sejumlah institusi terkait.

Pertanyaannya, smelter mana yang menampung timah Keranggan-Tembelok? Mana kita tahu, namanya ini baru dugaan. Tugas aparat penegak hukum (APH) lah yang harus mengusutnya. Membongkar praktik gelap yang merugikan negara, masyarakat dan ekologis.

Mungkin saja smelter yang punya Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) lah yang berhasrat akan pasir timah. Tidak perlu menambang, tidak perlu mengeluarkan banyak biaya, risiko, pajak dan retribusi ini dan itu. Lewat tambang timah ilegal, pasir timah mengalir, kuota tahunan RKAB terpenuhi, lebur, lempar ke bursa, transaksi, duit puluhan bahkan ratusan miliar mengalir ke Bos dan Big Bos. Ini, sekali lagi, mungkin, mungkin saja.

Siapa Bos dan Big Bos ini? Ngeri,ngeri ah, jangankan untuk mengusutnya, menyebut atau menulis namanya saja banyak yang takut, ngeri!

Jika pun memang mau mengusutnya? Maka dibutuhkan kekuatan yang besar. Dibutuhkan power dan melibatkan lintas sektoral. Baik Polri, TNI, Kejagung, Bea Cukai, PPATK, otoritas pelabuhan dan lainnya. Uang yang mengalir sebanyak itu pasti terkait juga dengan dunia perbankan, tentu PPATK dengan sangat mudah melacaknya.

Tapi sudahlah, ini sudah akhir tahun, kuota sesuai RKAB mungkin sudah mulai penuh atau hampir penuh. Tunggu saja sebentar lagi, sedikit lagi. Kalau sudah penuh, otomatis Keranggan-Tembelok akan berhenti dengan sendirinya. Iya, pasti. Mungkin saja dengan seremonial, mungkin saja, mungkin ya, operasi gabungan.

Nanti, tahun 2025, RKAB terbaru keluar, maka drama akan dimulai lagi. Episode demi episode akan ditayangkan. Lalu akan muncul lagi keributan-keributan kecil di lapangan, atau keriuhan di jagat maya? Ah itu bumbu saja…namanya juga drama. Pertanyaannya, Anda terlibat dan memainkan peran apa? Entahlah. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *